MAKALAH
HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Tentang:
EKONOMI ISLAM
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, MA
Disusun
oleh:
MUSLIM
310.K003
JURUSAN
PROGRAM KHUSUS PERBANDINGAN MADZHAB DAN
HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1434 H – 2013 M
KATA PENGANTAR
Pertama-tama
marilah kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah menyingkap tirai rembulan
malam di kegelapan malam, yang mengisi seratus satu macam legenda
kehidupan langit berbyanyi bumi bersiul ikut menyaksikan kehindahan alam,
subhanallah ternyata lukisan seni tak seindah lukisan Sang Ilahi.
Sebagai langkah yang kedua, salawat beriringan salam kita ucapkan buat Nabi
Muhammad SAW sebagai agent of changed buat umat manusia, yang membawa umat
manusia dari yang tidak berilmu pengetahuan sampai kehidupan yang berilmu
pengetahuan (who has changed his imber from the dakness period into the
knowladge period as we feel right now)
Selanjutnya, makalah yang penulis susun ini berjudul “Ekonomi
Islam di Indonesia” yang sebagai tugas dalam mata kuliah Hukum Islam di
Indonesia.
Saya sebagai pemakalah sangat menyadari bahwa makalah saya ini masih banyak
kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dosen
pembimbing yang telah memberikan tugas serta kepercayaan kepada penulis
untuk membuat dan menyusun makalah ini, semoga makalah ini benar-benar
bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama bagi penulis yang membuat
makalah ini.
Padang,
8 November 2013
MUSLIM
310.K003
EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai ilmu
pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan
positif di tingkat global. Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami
kemajuan, baik dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun
swasta, dan secara praktik operasional.
Dalam bentuk praktiknya, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk
kelembagaan seperti perbankan, BPRS, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah,
Pasar Modal Syari’ah, dengan instrumen obligasi dan Reksadana Syariah, Dana
Pensiun Syari’ah, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, maupun lembaga keuangan
publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga pengelola wakaf.
Perkembangan aplikasi Ekonomi Islam di Indonesia dimulai sejak didirikannya
Bank Muamalat Indonesia tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998.
Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan
pemerintah terhadap kemajuan aplikasi ekonomi Islam di Indonesia.
Dengan kemajuan yang dicapai ekonomi Islam tersebut, berimplikasi kepada
banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dengan Lembaga Keuangan
Syariah (LKS), maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang
ekonomi Islam. Dalam hal ini akan diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
B.
Sejarah Perkembangan
Ekonomi Islam Di Indonesia
Gerakan lembaga
keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang
beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun
1969 oleh Dr. Abdul Hamid An Naggar. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup
karena masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya
konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak
lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah
Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian
lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan
anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Di Indonesia sendiri
perkembangan ekonomi islam di awali dengan berdirinya bank syariah di Indonesia
pada tahun 1992 yaitu Bank Muammalat, perbankan syariah di Indonesia terus
berkembang. Bila pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit saja maka pada tahun
1999 jumlahnya bertambah tiga unit, dan ditahun-tahun berikutnya lembaga
keuangan syariah berkembang pesat.
C.
Sejarah Perbankan
Syariah di Indonesia
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.
Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada
akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal.
IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode
1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega
Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah
19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia
(Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah
digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR
Syariah.
Ini adalah suatu bukti bahwa mengembangkan perekonomian secara syariah
harus diikuti dengan pengembangan dan pembangunan aspek dan instrumen terkait
yang menjadi bagian yang tak bisa di pisahkan sebagai faktor utama dalam
mengembangkan ekonomi syariah.
D.
Hukum Ekonomi Islam di
Indonesia
Perkembangan LKS seiring dengan perkembangan regulasi yang mengatur
operasionalnya. Berturut turut sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia,
pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti, UU
No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, direvisi dalam UU No. 10 tahun 1998.
yang mengatur landasan hukum dan jenis usaha yang dapat dioperasikan oleh
perbankan syari’ah, juga arahan bagi perbankan konvensional melakukan
dual banking system atau konversi.
Selanjutnya, lahir UU No. 23 Tahun 1999 direvisi UU No.3 Tahun 2004
tentang BI, sebagai penanggung jawab otoritas moneter bank syari’ah dan bank
konvensional. Kemudian disusul disahkan UU No. 19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan perkembangan yang sangat
signifikan dengan disahkannya undang-undang no 21 tahun 2008 tentang
perbankan syari’ah.
Kemudian untuk menyelesaikan sengketa di LKS, pemerintah mengeluarkan UU
No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai revisi UU No.7 tahun 1989,
yang sebelumnya diselesaikan di PN atau Badan Arbitrase Syari’ah.
Lahirnya UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang
Peradilan Agama, membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang
mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49
point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang
beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi
syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah
c. Asuransi syari’ah
d. Reasurasi syari’ah
e. Reksadana syari’ah
f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
g. Sekuritas syariah
h. Pembiayaan syari’ah
i.
Pegadaian syari’ah
j.
Dana pensiun lembaga
keuangan syari’ah
k. Bisnis syari’ah.
Amandemen ini membawa
implikasi dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Selama ini, wewenang
untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah
diselesaikan di PN yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.
Dalam aplikasinya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan
hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada
ketentuan KUH Perdata.
Ketika wewenang
mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut hakim PA,
maka kehadiran KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) menjadi urgen, seperti
yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam
al-’Adliyah.
Sehingga hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki
rujukan standar. Hal ini juga menjadi signifikan karena masalah asuransi
syari’ah, reasuransi, pegadaian syari’ah, reksadana syariah, obligasi syari’ah,
pasar modal syariah, dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum
yang kuat.
Kalaupun ada
aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke berbagai tempat. seperti Fatwa DSN,
regulasi BI, kitab-kitab fiqih dan fatwa-fatwa ulama klasik dan kontemporer.
Sehingga belum menjadi satu dalam bentuk kodifikasi. Kenyataan inilah yang
dijawab MA dengan menghadirkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
KHES
berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September tersebut terdiri dari 4
buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19
Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan
Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62
Pasal).
E.
Kesimpulan
Dalam
bentuk praktiknya, ekonomi Islam di Indonesia telah berkembang dalam dua bentuk
kelembagaan yaitu lembaga perbankan dan lembaga non perbankan seperti BPRS,
Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syari’ah, dengan instrumen
obligasi dan Reksadana Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, maupun lembaga
keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga pengelola
wakaf.