Dinamakan
Masjid Raya Gantiang karena terletak di Kelurahan
Gantiang, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang.Masjid ini mulai dibangun pada
tahun 1805. Masjid ini tercatat
sebagai masjid tertua di Padang dan salah satu yang tertua di Indonesia serta
telah menjadi cagar budaya.
Pembangunan
Masjid Raya Gantiang ini melibatkan berbagai bangsa dan menjadi pusat
pergerakan reformasi Islam di daerah tersebut pada abad ke-19. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno,
pernah mengungsi ke masjid ini pada masa perjuangan kemerdekaan. Masjid ini
termasuk bangunan yang tetap utuh setelah gelombang tsunami menerjang kota Padang dan sekitarnya
akibat gempa bumi tahun 1833.
Masjid
Raya Ganting turut berperan dalam perjalanan sejarah Kota Padang. Selain sebagai lokasi
pengembangan Islam di pulau
Sumatera, masjid ini juga berperan dalam pergerakan perjuangan
kemerdekaan di Padang.
Sejak
awal berdirinya, masjid ini dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan manasik
calon haji.
Masjid ini juga menjadi tempat embarkasi haji pertama di Sumatera
Tengahmelalui Pelabuhan Teluk Bayur yang dibuka
pada tahun 1895. Sebelum berakhirnya perang Padri,
pada tahun 1918,
para ulama di
Minangkabau mengadakan pertemuan di Masjid Raya Ganting untuk membahas
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan pemurnian ajaran
agama Islam dari
pemahaman mistik dan khufarat.
Pada
tahun 1921, Abdul Karim Amrullah mendirikan sekolah Thawalib di
dalam pekarangan masjid sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat kota Padang saat
itu, yang alumninya kemudian mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi)
yang merupakan cikal bakal Partai
Masyumi. Masjid ini juga dijadikan lokasi jambore nasional pertama gerakan kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan pada
tahun 1932.
Ketika
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, Soekarno yang
ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan ke Kutacane.
Namun, sesampainya di Painan, tentara Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi sehingga
Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Soekarno di
Painan. Selanjutnya, Hizbul Wathan, yang saat itu bermarkas di
Masjid Raya Ganting, menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan
menggunakan pedati.
Beberapa hari kemudian, Soekarno yang telah tiba di Padang menginap sementara
waktu di salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting dan sempat
memberikan pidato di
masjid ini.
Selama pendudukan tentara Jepang di
Indonesia, masjid ini dijadikan sebagai markas besar wilayah
Sumatera Barat dan Tengah sekaligus tempat pembinaan prajurit Gyugun dan Heiho, yang merupakan
kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang. Anggota perwira militer
Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit Heiho diambil dari para santri.
Setelah
tentara Sekutu mendarat
di Sumatera, banyak tentara Inggris dari kesatuan tentara Muslim India membelot dan
bergabung dengan tentara rakyat setempat. Mereka mengatur strategi penyerangan
dari masjid ini, termasuk penyerangan ke salah satu tangsi militer Inggris dari
kesatuan Gurkha.
Ketika seorang prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer
yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di Masjid
Ganting.
Masjid Raya Gantiang sebelum memiliki dua menara sekitar tahun 1900 - 1923
Sejak
tahun 1950, Masjid Raya Ganting mulai banyak dikunjungi oleh pejabat negara
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah pejabat negara yang pernah
berkunjung ke masjid ini, antara lain, adalah Wakil Presiden Mohammad
Hatta, Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwana IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu, dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Sementara itu, tokoh
luar negeri yang pernah mengunjungi masjid ini, antara lain, adalah Sekretaris
Negara Malaysia serta
pejabat dari Arab Saudi dan Mesir.
Pada
10 April 2005, terjadi gempa bumi di pantai barat Sumatera dengan kekuatan
6,7 Skala Richter setelah
terjadinya gempa bumi lebih besar di
sekitar Pulau Nias dua minggu sebelumnya. Sejumlah
tiang penyangga utama kuda-kuda atap Masjid Raya Ganting retak dan patah akibat
gempa ini.
Selanjutnya,
masjid ini merupakan salah satu dari 608 unit tempat ibadah di Sumatera
Barat yang rusak berat akibat gempa bumi 30 September 2009. Selain meruntuhkan
sebagian fasad masjid,
gempa tersebut juga meretakkan tiang-tiang ruang utama sehingga bangunan ini
dikhawatirkan roboh. Sebelum dilakukan renovasi pada tahun 2010, kerusakan yang
dialami masjid ini menyebabkan aktivitas ibadah terganggu sehingga, selama
sementara waktu, aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman masjid.
Pada tahun 2011, masjid ini dimasukkan dalam daftar
masjid terindah di Indonesia yang diterbitkan dalam buku 100 Masjid
Terindah Indonesia oleh PT Andalan Media