A. Definisi
Khamar
Secara etimologi kata khamar berasal dari
Bahasa Arab yaitu الخمر artinya menutupi. Adapun
secara terminologi khamar adalah segala jenis minuman yang memabukkan yang
dapat menutupi kesehatan akal.
Sebagian ulama seperti Imam Hanafi memberikan
pengertian khamar sebagai nama (sebutan) untuk jenis minuman yang dibuat
dari perasan anggur sesudah dimasak sampai mendidih serta mengeluarkan buih dan
kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari buih itulah yang mengandung unsur
yang memabukkan. Ada pula yang memberi pengertian khamar dengan lebih
menonjolkan unsur yang memabukkannya. Artinya, segala jenis minuman yang
memabukkan disebut khamar.
Islam memandang khamar sebagai salah satu faktor utama
timbulnya gejala kejahatan, seperti menghalangi seseorang untuk berzikir kepada
Allah SWT, menghalangi seseorang melakukan shalat yang merupakan tiang agama,
menghalangi hati dari sinar hikmah dan merupakan perbuatan setan. Oleh karena
itu, khamar baik secara esensi maupun penggunaannya, diharamkan secara qath’i
(yakin) dalam Alquran maupun sunah Nabi SAW. Tetapi karena pada awal Islam
khamar telah menjadi kebiasaan atau bagian hidup masyarakat Arab, maka pelarangannya
dilakukan secara bertahap.
B.
Proses Diharamkannya
Khamar
1.
Ayat pertama QS. An-Nahl: 67
ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا إن في ذلك لآية
لقوم يعقلون
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan
rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS.
An-Nahl Ayat 67)[1]
Kurma dan anggur adalah komoditas ekonomi jazirah arab, sejak dahulu kala.
Komoditi tersebut selain diperdagangkan secara natural (alami) juga diolah
menjadi minuman yang memabukkan. Seperti halnya buah aren bisa diolah
menjadi tuak yang memabukkan.
Disini Allah menyatakan secara tersirat bahwa dari kedua buah tersebut
dapat diolah menjadi rezeki yang baik (perdagangan alami) dan hal yang tidak
baik (minuman yang memabukkan).
2.
Ayat kedua Al-Baqarah :219
‘Umar bin Khattab beserta para sahabat yang lain bertanya kepada Rasulullah
SAW perihal minuman yang memabukkan dan menghilangkan akal. Sahabat-sahabat
tersebut memang sudah biasa minum khamar. Dua orang sahabat Rasulullah SAW yang
semasa masih jahiliyah tidak pernah minum khamar adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq
dan Utsman bin Affan. Sehubungan dengan pertanyaan tentang khamar tersebut maka
turunlah ayat yang berbunyi
:يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ
قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, (QS.
Al-Baqarah: 219)[2]
Dalam masyarakat kita saat ini, bahkan bagi orang barat sekali pun kalau
ditanya secara jujur tentang manfaat dari miras dan judi, kita akan mendapatkan
jawaban bahwa bagaimana pun pada keduanya menimbulkan problem-problem sosial
yang bersifat negatif bahkan destruktif. Karena itu berbagai aturan dan
undang-undang pemerintah di manapun, ada pengaturan tentang kedua hal itu,
meskipun dasar yang digunakan bukan dari Al-Quran..
Maka pertanyaan beberapa sahabat tersebut juga menunjukkan munculnya
kesadaran sosial bahwa didalam perkara miras dan judi ternyata menghasilkan
hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.
3.
Ayat ketiga, An-Nisa [4:43]
Setelah ayat kedua tentang khamar dan judi turun, pada suatu saat Abdurrahman
bin Auf mengundang teman-temannya untuk minum khamar sampai mabuk. Ketika waktu
shalat tiba, salah seorang yang menjadi imam membaca surat al-Kafirun secara
keliru disebabkan pengaruh khamar. Maka turunlah ayat ketiga yaitu An-Nisa
[4:43]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ
حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا...
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, …..(QS. An-Nisa Ayat 43)[3]
Ayat ini belum mengharamkan minuman keras dan judi secara mutlak, maka
sebagian umat islam pada waktu itu masih meminumnya.
Selain berkaitan dengan mabuk, ayat ini berlaku umum bahwa orang yang
mengerjakan shalat harus memahami/mengerti makna bacaan shalatnya karena ada
kalimat “sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”).
Kalimat ini menjadi penyebab keumuman ayat itu, karena kita pahami bahwa
bagi orang Arab dalam keadaan tidak mabuk tentu mereka mengerti apa yang
diucapkan dalam shalat. Berbeda halnya bagi orang non-Arab dimana bahasa Arab
bukan bahasa sehari-hari.
Oleh sebab itu maka mengerti bahasa arab, minimal dalam bacaan sholat,
menjadi kewajiban bagi orang non-arab. Demikian ini agar tidak terkena makna
daripada QS An-Nisa’ [4:43] tersebut di atas karena objek sasaran ayat tersebut
adalah bagaimana mengerti apa yang diucapkan dalam sholat, bukan pada mabuknya.
Sedangkan mabuk adalah salah satu penyebab dari tidak memahami apa yang
diucapkan dalam shalat.
4.
Ayat keempat, Al-Maidah [5:90-92]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ
وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ
عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ . وَأَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَاحْذَرُواْ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواْ
أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
5:90. Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[4]
5:91. Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
5:92. Dan taatlah kamu kepada Allah
dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling,
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.[5]
Dengan turunnya ayat ini maka hukum meminum khamar dan judi telah secara
tegas dan jelas dinyatakan sebagai perbuatan yang haram. Sebagai salah satu
dari dosa besar (Al-Baqarah [2:219]).
Allah menyuruh menjauhi 4 perbuatan keji yang termasuk perbuatan
syetan Minum Khamar, Berjudi, Berkorban untuk berhala/thagut/sesuatu yang bukan
karena Allah, Mengundi nasib, dengan panah atau yang lainnya termasuk mengundi
nasib kepada tukang ramal.
Sedang khamar dan berjudi, Allah SWT nyatakan sebagai perbuatan setan yang
akan :
· Menimbulkan
permusuhan
· Menimbulkan
kebencian satu sama lain
· Menghalangi
dari mengingat Allah
· Menghalangi
dari sembahyang
C.
Hukuman
Untuk Peminum Khamr
Al-qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr, namun sanksi
dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yakni sunah fi’liyahnya,
bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar
as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin
Abu Thalib ra 40 kali dera.[14]
Alasan penetapan 80 kali dera didasarkan pada metode analogi atau qiyas,
yakni dengan mengambil ketentuan hukum yang ada di dalam al-Qur’an surat an-Nur
ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina),
kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka didera
delapan puluh kali dera¬an, dan janganlah diterima kesaksian dari mereka
selama-lamanya. Itulah orang-orang fasik.”
Bahwa orang yang menuduh zina didera 80 kali. Orang yang mabuk biasanya
mengigau, jika mengigau suka membuat kebohongan, orang bohong sama dengan orang
membuat onar atau fitnah. Fitnah dikenai hukuman 80 kali dera. Maka orang yang
meminum khamr didera 80 kali.[15]
Disamping itu pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab ra banyak orang yang
meminum khamr, dan hal mengenai dera 80 kali sudah berdasarkan hasil musyawarah
antara Umar bin Khathab ra dengan para shahabat yang lain, yakni atas usulan
Abdurrahman bin ‘Auf.
Adapun menurut Imam Abu Hnifah ra dan Imam Maliki ra sanksi peminum khamr
adalah 80 kali dera. Sedang Imam Syafi’i ra adalah 40 kali dera, akan tetapi
Imam beleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi 40 kali adalah hukuman had,
sedang sisanya adalah hukuman ta’zir.[16]
Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat
terlaksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal
ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya
antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila
meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di
bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang
bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa
dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang
dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila
tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya
dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar,
maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua hal,
yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya, hukum
suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas mengharamkannya,
maka hukum khamr itu haram.
Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba
(manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda, tetap
saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya. Misalnya, babi
itu haram. Perbuatan apa saja yang diharamkan berkenaan dengan babi? Apakah
memakannya, menjualnya, menternakkannya, memegangnya, melihatnya, atau bahkan
membayangkannya hukumnya juga haram? Untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan
yang berkenaan dengan benda tidak cukup hanya melihat dalil tentang haramnya
benda, tetapi harus meneliti dalil-dailil syara’ yang menjelaskan perbuatan
yang berkenaan dengan benda tersebut.
Beberapa perbuatan haram yang berkaitan dengan khamr, dijelaskan oleh Nabi
SAW dari Anas ra.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW
melaknat dalam khamr sepuluh personel, yaitu: pemerasnya (pembuatnya),
distributor, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya,
pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan pemesannya” (HR Ibnu
Majah dan Tirmidzy).
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku yang terlibat dalam
khamr termasuk yang diharamkan. Hukum haram disimpulkan karena ada celaan yang
bersifat jazim dengan kata (melaknat). Berarti, itu merupakan sebuah sanksi
yang diberikan kepada para pelaku yang terlibat dalam khamr. Mereka itu adalah:
1. produsen
2. distributor
3. peminum
4. pembawa
5. pengirim
6. penuang minuman
7. penjual
8. orang yang memetik hasil penjualan
9. pembayar
10. pemesan
D.
Pembuktian
untuk Jarimah Syurbul Khamr
Alat bukti syurb khamr adalah:
Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang
wanita. Menurut Imam Abu Hanifah ra dan Abu Yusuf ra, saksi harus mencium bau
minuman yang memabukkan ketika menyaksikanya.
Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
Bau mulut, menurut Imam Maliki ra bau mulut orang meminum minuman yang
memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum
khamr.
Mabuk, Imam Abu Hanifah ra berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai
alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i ra tidak demikian, karena mabuk itu
memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
Muntah, menurut Imam Maliki ra beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan
sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Afan ra
menjatuhkan hukuman dera bagi orang yanh muntah-muntah akibat meminum khamr.
F.
Pelaksanaan Hukuman Syurb Khamr
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada
jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau
dalam keadaan marah,[17] juga dalam mendera ketika eksekutor tidak
boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun
kurma atau sejenisnya.
dalam hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum
khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk
hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari
Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti
penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat,
pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.
Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
“Siapa yang minum khamar maka
pukullah”.
Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan
mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.
Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang
berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib,
Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin
Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
E.
Batalnya
Hukuman Syurb Khamr
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
1. Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
2. Pelaku menarik kembali persaksianya, karena tidak ada bukti yang
menguatkan.
3. Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan
kebenaranya
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Albani Nasirudin Muhammad, Ringkasan Shahih Muslim, Gema Insani Press,
Jakarta 2005.
Ash-Shabuni Ali Muhammad, Tafsir Ayat Ahkam, Alih Bahasa Oleh Mu’ammal
Hamidi Dan
A. Manan Drs.Imron, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2003.
Bahreisy Salim, Terjemah Irsyadul Ibad Ila Sabilirrasyad, Darussaggaf,
Surabaya, 1977.
Bisri Adib dan Munawir, Kamus Bahasa Arab al-Bisri, Pustaka Progressif,
Surabaya 1999.
Departemen Agama RI, AlQur’an Dan Terjemahnya, CV. Indah Press, Jakarta
1996
Djazuli, Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Munajat Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Sukses Offset, Yogyakarta
2009.
Hasan Ali M, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2000.
http://nabawiherbal.wordpress.com/2008/05/28/bahaya-miras/
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006.
[1] Departemen Agama RI, AlQur’an dan terjemahnya, Hal 412
[2] Departemen Agama RI, AlQur’an dan terjemahnya, Hal 53
[3] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, Hal 125
[4] Departemen Agama RI,
AlQur’an dan Terjemahnya, Hal 176
[5] Departemen Agama RI,
AlQur’an dan Terjemahnya, Hal 177
[14] Nasirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim (Kitab Hukuman
Minum Khamr), h. 503
[15] Makhrus Munajat, Hukuman Pidana Islam di Indonesia,
h. 161
[16] Ibid, h. 161
[17] Nasirudin
al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim(Kitab
Hukuman Minuman Khamr), h.503